Senin, 30 Juni 2014

Monolog Hujan - Just One Day

 Requiem
Bayangmu menyelinap di sela sela nostalgiaku yang berkecamuk di setiap malam. Membakar kerinduan bersama bunyi jangkrik yang mengerik. Melalui teratak doyong , jiwaku luruh mengikuti ingatanku tentangmu. Di dalam teratak itu, angin mengunci bibirku agar tak bersuara melafalkan namamu, agar dingin membeku kan perasaanku. Pedih dan perih, tak mau lagi ku ubah menjadi bahagia yang fana. Langkahku menyudut ke seonggok keramik kaca, yang di dalam imajinasiku itu kamu. Seandainya dia bisa berkata, ingin ku ungkap semua ingatan dan kenanganku tentang kamu, yang telah lama terpendam dan mendesak ku untuk berkata lebih awal. Teratak tua ini, mulai berontak melawan angin. Membunyi kan suara suara berderak dari engsel karat nya. Lewat temaram lilin kecil, ku usap debu dan usang dari keramik kaca. Ku belai dia supaya tak lagi merasa sepi, karena aku ada di sini. Untuk kesekian kali, aku merasakan kehadiranmu. Namun, apa daya aku tak bisa melihatmu. Keberadaanmu tak sanggup ku raih, apalagi kuraba. Untuk para pujangga diluar sana, bisakah kalian menyingkap hatiku yang telah lama hilang? Bukan untuk mencari bahagia, tapi menyuarakan segelintir kalimat yang lama mencoba terucap. Angin mulai menerbangkan dedaunan kering dan bau basah dari jendela teratak yang terbuka lebar. Tak ku hiraukan perihal itu, karena yang ku tau . . aku ingin kembali ke masa lalu yang tersimpan bisu di dalam keramik kaca. Demi cahaya lilin yang temaram menerangi malamku, hapuskanlah waktu ini dan substitusikan menjadi waktu yang lalu. Karena hanya percuma, jika hidupku tersisa bersama kebohongan semata, yang mendera tanpa ampun. Untuk dedaunan yang sarat akan kering dan kerontang, tunjukkanlah jalan untukku melalui tulang tulang mu yang terukir saat kematianmu telah menjelang. . dan demi keramik kaca usang di sudut teratak tua ini, hidupkanlah kembali kenangan dan ingatanku yang telah lama mati bersamanya, jadikan kenyataan dan buang sakitku sekarang. Aku lelah berharap terang di kegelapan yang pekat, aku enggan melenyapkan mentari di siang yang terik, dan aku ingin kebeningan embun bisa membasuh bahagia yang semu , atau meredupkan butiran ragu

-Rae Rin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar